Pandangan Islam tentang evolusi beragam, mulai dari evolusi teistik hingga kreasionisme. Umat Islam meyakini Tuhan sebagai pencipta makhluk hidup, seperti dinyatakan dalam Al-Quran. Sepanjang sejarah beberapa pemikir Muslim telah mengajukan dan menerima unsur-unsur teori evolusi,
sambil tetap memercayai kekuasaan Tuhan dalam prosesnya. Pada masa
modern, beberapa Muslim menolak evolusi, dan pengajaran evolusi dilarang
di beberapa negara. Pertentangan utama antara Islam dan evolusi adalah Adam dan Hawa sebagai leluhur manusia, sebuah konsep yang bertentangan dengan antropologi biologis modern.[1]. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Pandangan_Islam_tentang_evolusi )
Artinya: “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya/ Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(QS An-Nisa: 30)
Sesungguhnya Kami telah ciptakan manusia sebaik-baik bentuk (QS 95:4).
Evolusi dari segi bahasa (Bahasa Inggris: evolution), berarti perkembangan. Dalam ilmu sejarah, evolusi diartikan sebagai perkembangan social, ekonomis, politis yang berjalan sedikit demi sedikit, tanpa unsur paksaan. Dalam ilmu pengetahuan, istilah evolusi diartikan sebagai perkembangan berangsur-angsur dari benda yang sederhana menuju benda yang lebih sempurna.
Evolusi pada dasarnya berarti proses perubahan dalam jangka waktu tertentu. Dalam konteks biologi modern, evolusi berarti perubahan frekuensi gen dalam suatu populasi. Akumulasi perubahan gen ini menyebabkan terjadinya perubahan pada makhluk hidup.
2.1.1.1 Teori evolusi menurut Jean Lamarck
• Evolusi organik terjadi karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungannya dapat diturunkan.
• Organ yang mengalami perubahan karena terus menerus dipakai akan berkembang makin sempurna dan organ yang tidak diperlukan lagi lama kelamaan perkembangannya menurun dan akhirnya rudiment atau atrofi.
Teori Lamarck disanggah Weismann.
2.1.1.2 Teori evolusi menurut Charles Darwin
• Spesies yang ada sekarang adalah keturunan dari spesies-spesies sebelumnya.
• Seleksi alam sangat menentukan berlangsungnya mekanisme evolusi.
Seleksi alam merupakan gagasan murni dari Darwin. Sementara teori pertama di atas telah ada sejak jama Yunani kuno, hanya saja Darwin menjelaskannya secara lebih tajam dan detil.
2.1.2 Sejarah Singkat Teori Evolusi
Pemikiran-pemikiran evolusi seperi nenek moyang bersama dan transmutasi spesies telah ada paling tidak sejak abad ke-6 SM ketika hal ini dijelaskan secara rinci oleh seorang filsuf Yunani, Anaximander. Beberapa orang dengan pemikiran yang sama meliputi Empedokles, Lukretius, biologiawan Arab Al Jahiz, filsuf Persia Ibnu Miskawaih, Ikhwan As-Shafa, dan filsuf Cina Zhuangzi. Seiring dengan berkembangnya pengetahuan biologi pada abad ke-18, pemikiran evolusi mulai ditelusuri oleh beberapa filsuf seperti Pierre Maupertuis pada tahun 1745 dan Erasmus Darwin pada tahun 1796. Pemikiran biologiawan Jean-Baptiste Lamarck tentang transmutasi spesies memiliki pengaruh yang luas. Charles Darwin merumuskan pemikiran seleksi alamnya pada tahun 1838 dan masih mengembangkan teorinya pada tahun 1858 ketika Alfred Russel Wallace mengirimkannya teori yang mirip dalam suratnya "Surat dari Ternate". Keduanya diajukan ke Linnean Society of London sebagai dua karya yang terpisah. Pada akhir tahun 1859, publikasi Darwin, On the Origin of Species, menjelaskan seleksi alam secara mendetail dan memberikan bukti yang mendorong penerimaan luas evolusi dalam komunitas ilmiah.
Perdebatan mengenai mekanisme evolusi terus berlanjut, dan Darwin tidak dapat menjelaskan sumber variasi terwariskan yang diseleksi oleh seleksi alam. Seperti Lamarck, ia beranggapan bahwa orang tua mewariskan adaptasi yang diperolehnya selama hidupnya, teori yang kemudian disebut sebagai Lamarckisme. Pada tahun 1990-an, eksperimen August Weismann mengindikasikan bahwa perubahan ini tidak diwariskan, dan Lamarkisme berangsur-angsur ditinggalkan. Selain itu, Darwin tidak dapat menjelaskan bagaimana sifat-sifat diwarsikan dari satu generasi ke generasi yang lain. Pada tahun 1865, Gregor Mendel menemukan bahwa pewarisan sifat-sifat dapat diprediksi. Ketika karya Mendel ditemukan kembali pada tahun 1900-an, ketidakcocokan atas laju evolusi yang diprediksi oleh genetikawan dan biometrikawan meretakkan hubungan model evolusi Mendel dan Darwin.
Walaupun demikian, adalah penemuan kembali karya Gregor Mendel mengenai genetika (yang tidak diketahui oleh Darwin dan Wallace) oleh Hugo de Vries dan lainnya pada awal 1900-an yang memberikan dorongan terhadap pemahaman bagaimana variasi terjadi pada sifat tumbuhan dan hewan. Seleksi alam menggunakan variasi tersebut untuk membentuk keanekaragaman sifat-sifat adaptasi yang terpantau pada organisme hidup. Walaupun Hugo de Vries dan genetikawan pada awalnya sangat kritis terhadap teori evolusi, penemuan kembali genetika dan riset selanjutnya pada akhirnya memberikan dasar yang kuat terhadap evolusi, bahkan lebih meyakinkan daripada ketika teori ini pertama kali diajukan.
Kontradiksi antara teori evolusi Darwin melalui seleksi alam dengan karya Mendel disatukan pada tahun 1920-an dan 1930-an oleh biologiawan evolusi seperti J.B.S. Haldane, Sewall Wright, dan terutama Ronald Fisher, yang menyusun dasar-dasar genetika populasi. Hasilnya adalah kombinasi evolusi melalui seleksi alam dengan pewarisan Mendel menjadi sintesis evolusi modern. Pada tahun 1940-an, identifikasi DNA sebagai bahan genetika oleh Oswald Avery dkk. beserta publikasi struktur DNA oleh James Watson dan Francis Crick pada tahun 1953, memberikan dasar fisik pewarisan ini. Sejak saat itu, genetika dan biologi molekuler menjadi inti biologi evolusioner dan telah merevolusi filogenetika.
Pada awal sejarahnya, biologiawan evolusioner utamanya berasal dari ilmuwan yang berorientasi pada bidang taksonomi. Seiring dengan berkembangnya sintesis evolusi modern, biologi evolusioner menarik lebih banyak ilmuwan dari bidang sains biologi lainnya. Kajian biologi evolusioner masa kini melibatkan ilmuwan yang berkutat di bidang biokimia, ekologi, genetika, dan fisiologi. Konsep evolusi juga digunakan lebih lanjut pada bidang seperti psikologi, pengobatan, filosofi, dan ilmu komputer.
Masih ada relevansinya kita membahas teori evolusi, meskipun sifatnya praktis. Singkat kata, dalam Al Qur’an terdapat Surat Al Baqarah ayat 164. Disana terdapat penggalan ayat yang berbunyi sebagai berikut: “Wa maa anzalallahu minas samaa’i min maa’in, fa ahya bihil ardha ba’da mautiha, wa bats-tsa fiha min kulli daabbah” [dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, yang dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah matinya (tandus); kemudian Dia sebar-luaskan di permukaan bumi itu segala macam makhluk melata (hidup)].
Secara umum, ayat ini menjelaskan tentang Kemurahan Allah Ta’ala yang menjalankan mekanisme siklus air. Dia menurunkan air dari langit dalam bentuk hujan; lalu hujan itu menyirami tanah-tanah tandus, sehingga ia hidup kembali sebagai tanah subur. Saat mana tanah sudah subur, tanam-tanaman hidup menghijau, maka makhluk berupa hewan maupun manusia akan singgah dan menetap di tempat itu.
Tapi ada satu pelajaran besar di balik ayat ini. Bahwa mahkluk hidup itu eksis di muka bumi karena proses PENYEBARAN. Mereka semua disebarkan oleh Allah Ta’ala. Sebagai makhluk yang disebarkan, tentu ia sudah jadi, sudah sempurna, sudah finalisasi dalam segala aspeknya (bentuknya, ukurannya, tabiatnya, peranannya, serta ketergantungannya satu sama lain). Tidak mungkin Allah menyebarkan makhluk “setengah jadi”, lalu mereka menjadi sempurna melalui proses-proses alam. Tidak demikian.
Makhluk (terutama hewan) ketika hidup di muka bumi, jenisnya sangat beragam, ukurannya sangat beragam, fungsi dan tabiatnya juga beragam. Mereka semua adalah makhluk yang telah sempurna, telah jadi, telah berada dalam proporsi FINAL. Keragaman makhluk yang luar biasa itu, menandakan Kebesaran Allah Ta’ala. Makhluk-makhluk ini tak pernah berubah wujud ke bentuk-bentuk lain, selain dirinya. Ia berada dalam koridor aslinya, sebagaimana saat pertama diciptakan.
Perlu dicatat, setiap makhluk ini memiliki batas ambang eksistensi. Ia adalah sejumlah kondisi dimana makhluk itu masih bisa eksis dalam batas-batas kemampuan adaptasinya. Kalau ia menghadapi kondisi ekstrem sehingga keluar dari batas-batas kemampuan adaptasinya; maka otomatis makhluk tersebut akan punah. Ia tak pernah berubah ke dalam bentuk lain, karena kondisi ekstrem di luarnya. Sampai disini, teori evolusi dengan sendirinya gugur di titik “ulu hati” paling krusial.
Singkat kata, tidak ada teori evolusi. Yang ada adalah fakta keragaman penciptaan. Allah Ta’ala menciptakan makhluk hidup beragam di muka bumi. Amat sangat beragam, sehingga untuk menjelaskan semua bentuk keragaman itu, kita tak akan mampu melakukannya. Setiap jenis makhluk yang diciptakan telah memiliki sifat-sifat khusus, dan memiliki ambang toleransi dalam proses adaptasinya. Jika menemui situasi ekstrem, apalagi dalam tempo lama, makhluk itu tidak akan berevolusi menjadi makhluk lain, tetapi ia akan punah karena ketidak-mampuannya bertahan.
Lalu bagaimana degan fosil-fosil yang ditemukan di masa lalu?
Fosil-fosil itu mencerminkan bentuk makhluk yang pernah ada di masa lalu. Fosil itu tidak pernah berubah menjadi fosil lain, atau merupakan hasil perubahan dari fosil sebelumnya. Ia tetap dalam bentuknya sebagai makhluk mandiri; asalnya begitu, anak keturunannya juga begitu.
Pendek kata, tidak pernah ada evolusi semacam tikus menjadi marmut, marmut menjadi kelinci, kelinci menjadi domba, domba menjadi sapi, dan seterusnya. Itu hanyalah lamunan orang-orang bodoh yang tersesat di belantara ilmu pengetahuan modern. Nas’alullah al ‘afiyah.
Sedangkan manusia sendiri; manusia bukanlah makhluk yang berasal dari bumi. Manusia berasal dari sepasang manusia tertua, Adam dan Hawwa. Keduanya semula ada makhluk dari langit. Jadi generasi manusia tidak mengalami proses apapun di bumi. Manusia sepenuhnya dari Adam dan Hawwa, keduanya dari langit. Kita ini sudah given atau build up seperti ini sejak nenek-moyang kita.
Nabi Saw pernah berkata: “Antum banu adama, wa adama min turab” (kalian itu anak-cucu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah). Sekali lagi: no evolution in universe!
Artinya: “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya/ Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(QS An-Nisa: 30)
Sesungguhnya Kami telah ciptakan manusia sebaik-baik bentuk (QS 95:4).
Evolusi dari segi bahasa (Bahasa Inggris: evolution), berarti perkembangan. Dalam ilmu sejarah, evolusi diartikan sebagai perkembangan social, ekonomis, politis yang berjalan sedikit demi sedikit, tanpa unsur paksaan. Dalam ilmu pengetahuan, istilah evolusi diartikan sebagai perkembangan berangsur-angsur dari benda yang sederhana menuju benda yang lebih sempurna.
Evolusi pada dasarnya berarti proses perubahan dalam jangka waktu tertentu. Dalam konteks biologi modern, evolusi berarti perubahan frekuensi gen dalam suatu populasi. Akumulasi perubahan gen ini menyebabkan terjadinya perubahan pada makhluk hidup.
2.1.1.1 Teori evolusi menurut Jean Lamarck
• Evolusi organik terjadi karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungannya dapat diturunkan.
• Organ yang mengalami perubahan karena terus menerus dipakai akan berkembang makin sempurna dan organ yang tidak diperlukan lagi lama kelamaan perkembangannya menurun dan akhirnya rudiment atau atrofi.
Teori Lamarck disanggah Weismann.
2.1.1.2 Teori evolusi menurut Charles Darwin
• Spesies yang ada sekarang adalah keturunan dari spesies-spesies sebelumnya.
• Seleksi alam sangat menentukan berlangsungnya mekanisme evolusi.
Seleksi alam merupakan gagasan murni dari Darwin. Sementara teori pertama di atas telah ada sejak jama Yunani kuno, hanya saja Darwin menjelaskannya secara lebih tajam dan detil.
2.1.2 Sejarah Singkat Teori Evolusi
Pemikiran-pemikiran evolusi seperi nenek moyang bersama dan transmutasi spesies telah ada paling tidak sejak abad ke-6 SM ketika hal ini dijelaskan secara rinci oleh seorang filsuf Yunani, Anaximander. Beberapa orang dengan pemikiran yang sama meliputi Empedokles, Lukretius, biologiawan Arab Al Jahiz, filsuf Persia Ibnu Miskawaih, Ikhwan As-Shafa, dan filsuf Cina Zhuangzi. Seiring dengan berkembangnya pengetahuan biologi pada abad ke-18, pemikiran evolusi mulai ditelusuri oleh beberapa filsuf seperti Pierre Maupertuis pada tahun 1745 dan Erasmus Darwin pada tahun 1796. Pemikiran biologiawan Jean-Baptiste Lamarck tentang transmutasi spesies memiliki pengaruh yang luas. Charles Darwin merumuskan pemikiran seleksi alamnya pada tahun 1838 dan masih mengembangkan teorinya pada tahun 1858 ketika Alfred Russel Wallace mengirimkannya teori yang mirip dalam suratnya "Surat dari Ternate". Keduanya diajukan ke Linnean Society of London sebagai dua karya yang terpisah. Pada akhir tahun 1859, publikasi Darwin, On the Origin of Species, menjelaskan seleksi alam secara mendetail dan memberikan bukti yang mendorong penerimaan luas evolusi dalam komunitas ilmiah.
Perdebatan mengenai mekanisme evolusi terus berlanjut, dan Darwin tidak dapat menjelaskan sumber variasi terwariskan yang diseleksi oleh seleksi alam. Seperti Lamarck, ia beranggapan bahwa orang tua mewariskan adaptasi yang diperolehnya selama hidupnya, teori yang kemudian disebut sebagai Lamarckisme. Pada tahun 1990-an, eksperimen August Weismann mengindikasikan bahwa perubahan ini tidak diwariskan, dan Lamarkisme berangsur-angsur ditinggalkan. Selain itu, Darwin tidak dapat menjelaskan bagaimana sifat-sifat diwarsikan dari satu generasi ke generasi yang lain. Pada tahun 1865, Gregor Mendel menemukan bahwa pewarisan sifat-sifat dapat diprediksi. Ketika karya Mendel ditemukan kembali pada tahun 1900-an, ketidakcocokan atas laju evolusi yang diprediksi oleh genetikawan dan biometrikawan meretakkan hubungan model evolusi Mendel dan Darwin.
Walaupun demikian, adalah penemuan kembali karya Gregor Mendel mengenai genetika (yang tidak diketahui oleh Darwin dan Wallace) oleh Hugo de Vries dan lainnya pada awal 1900-an yang memberikan dorongan terhadap pemahaman bagaimana variasi terjadi pada sifat tumbuhan dan hewan. Seleksi alam menggunakan variasi tersebut untuk membentuk keanekaragaman sifat-sifat adaptasi yang terpantau pada organisme hidup. Walaupun Hugo de Vries dan genetikawan pada awalnya sangat kritis terhadap teori evolusi, penemuan kembali genetika dan riset selanjutnya pada akhirnya memberikan dasar yang kuat terhadap evolusi, bahkan lebih meyakinkan daripada ketika teori ini pertama kali diajukan.
Kontradiksi antara teori evolusi Darwin melalui seleksi alam dengan karya Mendel disatukan pada tahun 1920-an dan 1930-an oleh biologiawan evolusi seperti J.B.S. Haldane, Sewall Wright, dan terutama Ronald Fisher, yang menyusun dasar-dasar genetika populasi. Hasilnya adalah kombinasi evolusi melalui seleksi alam dengan pewarisan Mendel menjadi sintesis evolusi modern. Pada tahun 1940-an, identifikasi DNA sebagai bahan genetika oleh Oswald Avery dkk. beserta publikasi struktur DNA oleh James Watson dan Francis Crick pada tahun 1953, memberikan dasar fisik pewarisan ini. Sejak saat itu, genetika dan biologi molekuler menjadi inti biologi evolusioner dan telah merevolusi filogenetika.
Pada awal sejarahnya, biologiawan evolusioner utamanya berasal dari ilmuwan yang berorientasi pada bidang taksonomi. Seiring dengan berkembangnya sintesis evolusi modern, biologi evolusioner menarik lebih banyak ilmuwan dari bidang sains biologi lainnya. Kajian biologi evolusioner masa kini melibatkan ilmuwan yang berkutat di bidang biokimia, ekologi, genetika, dan fisiologi. Konsep evolusi juga digunakan lebih lanjut pada bidang seperti psikologi, pengobatan, filosofi, dan ilmu komputer.
Masih ada relevansinya kita membahas teori evolusi, meskipun sifatnya praktis. Singkat kata, dalam Al Qur’an terdapat Surat Al Baqarah ayat 164. Disana terdapat penggalan ayat yang berbunyi sebagai berikut: “Wa maa anzalallahu minas samaa’i min maa’in, fa ahya bihil ardha ba’da mautiha, wa bats-tsa fiha min kulli daabbah” [dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, yang dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah matinya (tandus); kemudian Dia sebar-luaskan di permukaan bumi itu segala macam makhluk melata (hidup)].
Secara umum, ayat ini menjelaskan tentang Kemurahan Allah Ta’ala yang menjalankan mekanisme siklus air. Dia menurunkan air dari langit dalam bentuk hujan; lalu hujan itu menyirami tanah-tanah tandus, sehingga ia hidup kembali sebagai tanah subur. Saat mana tanah sudah subur, tanam-tanaman hidup menghijau, maka makhluk berupa hewan maupun manusia akan singgah dan menetap di tempat itu.
Tapi ada satu pelajaran besar di balik ayat ini. Bahwa mahkluk hidup itu eksis di muka bumi karena proses PENYEBARAN. Mereka semua disebarkan oleh Allah Ta’ala. Sebagai makhluk yang disebarkan, tentu ia sudah jadi, sudah sempurna, sudah finalisasi dalam segala aspeknya (bentuknya, ukurannya, tabiatnya, peranannya, serta ketergantungannya satu sama lain). Tidak mungkin Allah menyebarkan makhluk “setengah jadi”, lalu mereka menjadi sempurna melalui proses-proses alam. Tidak demikian.
Makhluk (terutama hewan) ketika hidup di muka bumi, jenisnya sangat beragam, ukurannya sangat beragam, fungsi dan tabiatnya juga beragam. Mereka semua adalah makhluk yang telah sempurna, telah jadi, telah berada dalam proporsi FINAL. Keragaman makhluk yang luar biasa itu, menandakan Kebesaran Allah Ta’ala. Makhluk-makhluk ini tak pernah berubah wujud ke bentuk-bentuk lain, selain dirinya. Ia berada dalam koridor aslinya, sebagaimana saat pertama diciptakan.
Perlu dicatat, setiap makhluk ini memiliki batas ambang eksistensi. Ia adalah sejumlah kondisi dimana makhluk itu masih bisa eksis dalam batas-batas kemampuan adaptasinya. Kalau ia menghadapi kondisi ekstrem sehingga keluar dari batas-batas kemampuan adaptasinya; maka otomatis makhluk tersebut akan punah. Ia tak pernah berubah ke dalam bentuk lain, karena kondisi ekstrem di luarnya. Sampai disini, teori evolusi dengan sendirinya gugur di titik “ulu hati” paling krusial.
Singkat kata, tidak ada teori evolusi. Yang ada adalah fakta keragaman penciptaan. Allah Ta’ala menciptakan makhluk hidup beragam di muka bumi. Amat sangat beragam, sehingga untuk menjelaskan semua bentuk keragaman itu, kita tak akan mampu melakukannya. Setiap jenis makhluk yang diciptakan telah memiliki sifat-sifat khusus, dan memiliki ambang toleransi dalam proses adaptasinya. Jika menemui situasi ekstrem, apalagi dalam tempo lama, makhluk itu tidak akan berevolusi menjadi makhluk lain, tetapi ia akan punah karena ketidak-mampuannya bertahan.
Lalu bagaimana degan fosil-fosil yang ditemukan di masa lalu?
Fosil-fosil itu mencerminkan bentuk makhluk yang pernah ada di masa lalu. Fosil itu tidak pernah berubah menjadi fosil lain, atau merupakan hasil perubahan dari fosil sebelumnya. Ia tetap dalam bentuknya sebagai makhluk mandiri; asalnya begitu, anak keturunannya juga begitu.
Pendek kata, tidak pernah ada evolusi semacam tikus menjadi marmut, marmut menjadi kelinci, kelinci menjadi domba, domba menjadi sapi, dan seterusnya. Itu hanyalah lamunan orang-orang bodoh yang tersesat di belantara ilmu pengetahuan modern. Nas’alullah al ‘afiyah.
Sedangkan manusia sendiri; manusia bukanlah makhluk yang berasal dari bumi. Manusia berasal dari sepasang manusia tertua, Adam dan Hawwa. Keduanya semula ada makhluk dari langit. Jadi generasi manusia tidak mengalami proses apapun di bumi. Manusia sepenuhnya dari Adam dan Hawwa, keduanya dari langit. Kita ini sudah given atau build up seperti ini sejak nenek-moyang kita.
Nabi Saw pernah berkata: “Antum banu adama, wa adama min turab” (kalian itu anak-cucu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah). Sekali lagi: no evolution in universe!